Keutamaan dan keistimewaan puasa sunah di bulan Sya'ban
* Bulan Sya’ban adalah bulan ke 8 dalam penanggalan Hijriah. Terletak antara dua bulan yang mulia, yaitu Rajab dan Ramadan. Karenanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda ketika ditanya tentang bulan Sya’ban,
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاس عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ
“Inilah bulan yang sering disepelekan orang, terdapat antara Rajab dan Ramadan.”
(HR. Ahmad dan Nasa’i, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 1898)
Keistimewaan Bulan Sya’ban dan Puasa Di Dalamnya
* Keistimewaan bulan Sya’ban, dinyatakan dalam kelanjutan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di atas;
وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Dia adalah bulan diangkatnya amal-amal (manusia) kepada Tuhan semesta Alam. Maka aku ingin ketika amalku sedang diangkat, aku sedang berpuasa.”
(HR. Ahmad dan Nasa’i, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 1898)
Karena itu, berdasarkan riwayat shahih disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berpuasa pada sebagian besar hari di bulan Sya’ban. Sebagaimana perkataan Aiysha radhiallahu anha,
… فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ (متفق عليه)
“Aku belum pernah melihat Rasulullah saw menyempurnakan puasanya dalam sebulan selain bulan Ramadan, dan tidak aku lihat bulan yang di dalamnya beliau paling banyak berpuasa selain bulan Sya’ban.”
* Dalam riwayat Bukhari (1970) dari Aisyah radhiallahu anha, dia berkata,
“Tidak ada bulan yang Nabi shallallahu alaihi wa sallam lebih banyak berpuasa di dalamnya, selain bulan Sya’ban. Sesungguhnya beliau berpuasa Sya’ban seluruhnya.”
Maksud hadits ini adalah bahwa beliau berpuasa pada sebagian besar hari-hari di bulan Sya’ban, berdasarkan perbandingan riwayat-riwayat lainnya yang menyatakan demikian. Dalam ungkapan bahasa Arab, seseorang boleh mengatakan ‘berpuasa sebulan penuh’ padahal yang dimaksud adalah ‘berpuasa pada sebagian besar hari di bulan itu’. Ada juga yang memahami bahwa kadang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh di bulan Sya’ban, tapi kadang (di tahun lain) beliau berpuasa sebagian besarnya. Ada pula yang mengatakan bahwa pada awalnya beliau berpuasa pada sebagian besar bulan Sya’ban, namun pada akhir hidupnya beliau berpuasa Sya’ban sebulan penuh.
Penafsiran pertama lebih kuat, berdasarkan riwayat-riwayat lain yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sering berpuasa di bulan Sya’ban melebihi puasa di bulan lainnya, dan bahwa Beliau belum pernah berpuasa sebulan penuh selain Ramadan. Wallahua’lam.
(Lihat: Fathul Bari, 4/213)
* Berdasarkan hadits di atas, keutamaan puasa di bulan Sya’ban memiliki dua alasan;
- Karena di bulan ini amal manusia diangkat untuk dilaporkan.
- Karena bulan ini dianggap sebagai bulan yang banyak disepelekan orang, karena terletak di antara dua bulan utama. Beribadah di saat orang lalai, memiliki keutamaan lebih dibanding beribadah disaat yang lainnya semangat beribadah. Meskipun kedua-duanya adalah kebaikan.
* Puasa di bulan Sya’ban, selain hikmah yang disebutkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits di atas, oleh para ulama juga dimaknai sebagai penyambutan dan pengagungan terhadap datangnya bulan Ramadan. Karena ibadah-ibadah yang mulia, umumnya diawali oleh pembuka yang mengawalinya. Seperti ibadah haji diawali dengan persiapan ihram di miqat, atau ibadah shalat yang diawali dengan bersuci dan persiapan-persiapan lainnya yang dimasukkan dalam syarat-syarat shalat. Di samping hal ini akan membuat tubuh mulai terbiasa untuk menyambut ibadah puasa sebulan penuh di bulan Ramadan.
Di sisi lain, Para ulama menyebutkan bahwa ibadah puasa di bulan Sya’ban, ibarat shalat Rawatib (sebelum dan sesudah) shalat Fardhu. Sebab sebelum Ramadan disunnahkan banyak berpuasa di bulan Sya’ban, dan sesudah Ramadan, disunnahkan berpuasa enam hari bulan Syawwal.
(Lihat: Tahzib Sunan Abu Daud, 1/494, Latha’iful Ma’arif, 1/244)
Malam Nishfu Sya’ban (pertengahan Sya’ban)
* Terkenal di tengah masyarakat keutamaan malam nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban). Hadits-hadits terkait dalam masalah ini sebagian dikatagorikan dha’if (lemah), bahkan sebagian lagi dikatagorikan maudhu (palsu) oleh para ulama hadits. Khususnya hadits-hadits yang mengkhususkan ibadah tertentu pada malam tersebut atau hadits-hadits yang menjanjikan jumlah dan bilangan pahala atau balasan tertentu bagi yang beribadah di dalamnya.
* Akan tetapi, ada sebuah hadits yang berisi tentang keutamaan malam Nisfhu Sya’ban yang bersifat umum, tanpa mengkhususkan ibadah-ibadah tertentu. Yaitu hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ، فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Sesungguhnya Allah memeriksa pada setiap malam Nisfhu Sya’ban. Lalu Dia mengampuni seluruh makhluk-Nya, kecuali orang musyrik atau orang yang sedang bertengkar (dengan saudaranya).”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1390). Dalam Zawa’id Ibnu Majah, riwayat ini dinyatakan dha’if karena adanya perawi yang dianggap lemah.
Namun hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dari shahabat Mu’az bin Jabal (215). Ibnu Hibban juga mencantumkan dalam shahihnya (5665), begitu pula Imam Ahmad mencantumkan dalam Musnadnya (6642). Al-Arna’uth dalam ta’liq (komentar)nya pada dua kitab terakhir tentang hadits tersebut, berkata, “Shahih dengan adanya syawahid (riwayat-riwayat semakna lainnya yang mendukung).”
Al-Albani memasukkan hadits ini dalam kelompok hadits-hadits shahih dalam kitabnya Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (1144), juga dalam kitabnya Shahih Targhib wa Tarhib (1026).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun malam Nishfu Sya’ban, di dalamnya terdapat keutamaan.” (Mukhtashar Fatawa Mishriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 291)
* Karena itu, ada sebagian ulama salaf dari kalangan tabi’in di negeri Syam, seperti Khalid bin Ma’dan dan Luqman bin Amir yang menghidupkan malam ini dengan berkumpul di masjid-masjid untuk melakukan ibadah tertentu. Dari merekalah kemudian kaum muslimin membudayakan berkumpul di masjid-masjid pada malam Nisfhu Sya’ban dengan melakukan ibadah tertentu untuk berdoa dan berzikir. Ishaq bin Rahawaih menyetujui hal ini dengan berkata, “Ini bukan bid’ah.”
Akan tetapi, sebagian ulama Syam lainnya, di antaranya Al-Auza’i yang dikenal sebagai Imam ulama Syam, tidak menyukai perbuatan berkumpul di masjid-masjid untuk shalat dan berdoa bersama pada malam ini, namun mereka membenarkan seseorang yang shalat khusus pada malam itu secara pribadi (tidak bersama-sama). Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali, begitu juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Lebih keras dari itu adalah pandangan mayoritas ulama Hijaz, sepeti Atha, Ibnu Mulaikah, juga ulama Madinah dan pengikut Mazhab Maliki, mereka menganggapnya sebagai perbuatan bid’ah.
(Lihat: Latha’iful Ma’arif, Ibnu Rajab Al-Hambali, hal. 151, Mukhtashar Fatawa Al-Mishriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 292)
Namun, jika seseorang qiyamullail pada malam itu sebagaimana qiyamullail disunnahkan pada umumnya malam, atau berpuasa di siang harinya karena termasuk puasa Ayyamul Bidh (pertengahan bulan) yang disunnahkan, maka hal tersebut jelas tidak mengapa.
Qadha puasa Ramadan
* Apa kaitannya qadha puasa Ramadan dengan bulan Sya’ban?
Aisyah radhiallahu anha berkata,
كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلاَّ فِي شَعْبَانَ ، الشُّغُلُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
“Aku dahulu memliki hutang puasa Ramadan, aku tidak dapat mengqadanya kecuali di bulan Sya’ban, karena sibuk melayani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” (Muttafaq alaih)
Berdasarkan hadits ini, umumnya para ulama berpendapat bahwa kesempatan melakukan qadha puasa Ramadan terbuka hingga bulan Sya’ban sebelum masuk bulan Ramadan berikutnya. Namun, jika tidak ada alasan khusus, seseorang dianjurkan segera mengqadhanya. Bahkan sebagian ulama menyatakan agar mendahulukan qadha Ramadan sebelum puasa Syawal atau puasa sunah lainnya. Sebab berdasarkan hadits Aisyah di atas, dia baru sempat melakukan qadha di bulan Sya’ban, karena ada alasan, yaitu melayani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Maka pemahamannya, jika seseorang tidak memiliki alasan atau uzur syar’i, hendaknya dia menyegerakan membayar qadha puasanya.
(Lihat: Syarah Muslim, Imam Nawawi, 8/21, Fathul Bari, 4/189)
* Apabila hutang puasa itu belum juga terbayar hingga bertemu Ramadan berikutnya karena ada alasan tertentu yang membuatnya tidak dapat mengqadha puasa Ramadan sebelumnya, maka tidak ada kewajiban apa-apa baginya selain mengqadha puasanya setelah Ramadan berikutnya.
Jika tidak ada halangan bagi seseorang untuk mengqadha puasanya, namun tidak juga dia lakukan hingga datang Ramadan berikutnya, maka hendaknya dia bertaubat dan istighfar atas kelalaiannya menunda-nunda kewajiban. Disamping itu, dia tetap harus mengqadhanya setelah bulan Ramadan berikutnya.
Sebagian ulama mengharuskan orang seperti itu untuk memberikan setengah sha’ makanan pokok (sekitar 1,5 kg) kepada seorang miskin untuk setiap satu hari puasa yang dia tinggalkan sebagai peringatan atas kelalaiannya, disamping kewajiban mengqadha puasanya. Berdasarkan ijtihad para shahabat dalam masalah ini. Namun sebagian lain berpendapat tidak ada kewajiban akan hal tersebut, karena tidak ada nash yang dengan tegas menetapkannya. Akan tetapi ijtihad tersebut dianggap baik.
(Fathul Bari, 4/189, Al-Ilmam Bisyai’in min Ahkam Ash-Shiyam, Syekh Abdul Aziz Ar-Rajihi, 30)
* Jika telah masuk bulan Sya’ban, hendaknya setiap muslim mengingatkan dirinya atau orang-orang terdekat (khususnya kaum wanita yang umumnya suka memiliki hutang puasa) apabila memiliki hutang puasa Ramadan sebelumnya, agar segera ditunaikan sebelum datang Ramadan berikutnya.
Puasa Di Akhir Sya’ban
* Sehari atau dua hari terakhir bulan Sya’ban sebelum Ramadan, dinamakan sebagai Yaumusy-Syak (hari keraguan). Dikatakan demikian, karena pada hari tersebut tidak jelas apakah sudah masuk bulan Ramadan atau belum. Pada hari tersebut, seseorang dilarang berpuasa jika tujuannya sekedar ingin hati-hati agar tidak ada hari yang tertinggal dari bulan Ramadan. Yang diperintahkan adalah memastikan datangnya bulan Ramadan dengan terlihatnya hilal Ramadan. Kalau hilal tidak terlihat, maka bulan Sya’ban digenapkan menjadi tiga puluh hari berdasarkan riwayat shahih dalam masalah ini.
* Namun dibolehkan berpuasa pada hari tersebut (sehari atau dua hari sebelum Ramadan) apabila pada hari itu bertepatan dengan hari-hari sunnah berpuasa yang biasa dia lakukan (seperti Senen dan Kamis), atau dia berpuasa karena hendak membayar qadha puasanya, atau nazar atau kaffarat.
Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
لا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ ، إلاَّ رَجُلاً كَانَ يَصُومُ صَوْماً فَلْيَصُمْهُ (متفق عليه)
“Jangan kalian mendahulukan Ramadan dengan berpuasa sehari atau dua hari (sebelumnya). Kecuali seseorang yang (memang seharusnya/biasanya) melakukan puasanya pada hari itu. Maka hendaklah ia berpuasa.” (Muttafaq alaih).
* Di antara hikmah pelarangan ini adalah agar ada pemisah antara puasa Ramadan yang fardhu dengan puasa-puasa sunah sebelum dan sesudahnya. Maka, dilarang puasa sehari atau dua hari sebelumnya dan dilarang pula puasa sehari sesudahnya, yaitu pada hari Idul Fitri.
(Lihat: Syarah Muslim, Imam Nawawi, 7/194, Latha’iful Ma’arif, hal. 151, Syarh Umdatul Ahkam, Syekh Jibrin, 30/2)
Wallahu ta’ala a’lam.
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَعْبَانَ وَوَفِّقْنَا فِيهِ ، وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
“Yaa Allah, berilah kami barokah dan taufiq di bulan Sya’ban, dan pertemukan kami dengan Bulan Ramadan..”
thanks to : iqbalanas.com
0Awesome Comments!